Udang windu pdf




















Tabel 1. Hal ini dikarenakan dalam tubuh udang tidak terdapat zat antimikroba yang dapat membunuh bakteri yang menyerang, seperti zat yang terkandung dalam daun sirih. Diduga udang hanya memiliki antibodi alami yang dibentuk oleh tubuh dalam kondisi normal sehingga kemampuan Vibrio harveyi untuk menyerang. Menurut Kwang dalam Salfira , sistem kekebalan tubuh udang windu masih sederhana, dimana udang tidak mempunyai immunoglobin yang berperan dalam mekanisme tubuh.

Rendahnya tingkat kelangsungan hidup pada perlakuan A dikarenakan konsentrasi ekstrak daun sirih yang diberikan pada udang sangat rendah. Namun seperti halnya perlakuan A, konsentrasi yang dibutuhkan untuk membunuh Vibrio harveyi masih terlalu rendah karena perlakuan B merupakan konsentrasi membunuh Vibrio harveyi.

Sedangkan perlakuan D tidak berbeda nyata dengan perlakuan E. Perlakuan E memberikan angka kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain, diduga karena minimum ekstrak daun sirih dalam.

Diduga, untuk membunuh Vibrio harveyi yang menyerang udang diperlukan konsentrasi ekstrak yang lebih tinggi karena tidak terdapat hubungan langsung antara ekstrak dengan bakteri, tetapi melalui pakan yang diberikan pada udang. Sehingga kemampuan untuk membunuh dari pemberian ekstrak secara langsung terhadap bakteri lebih besar dibandingkan dengan ekstrak yang dicampur dalam pakan yang konsentrasi yang sama.

Hal ini diduga dikarenakan pakan yang dicampur dengan ekstrak daun sirih pada konsentrasi tersebut tidak dimakan seluruhnya, terbukti dengan adanya sisa pakan pada dasar akuarium, sehingga kemampuan untuk membunuh bakteri tidak maksimal.

Kemungkian pakan tidak dimakan karena rasa dari daun sirih, yaitu memiliki rasa yang pedas. Terlebih lagi pada konsentrasi tinggi kandungan daun sirih lebih banyak sehingga rasanyapun akan semakin pedas. Faktor lainnya karena adanya senyawa terpen yang terdapat pada minyak atsiri daun sirih yang bersifat racun bagi udang. Menurut Kitto senyawa terpenoid pada konsentrasi tinggi mampu membentuk busa dengan air sehingga proses pernafasan udang akan terganggu, akibat terjadi kematian.

Gambar 3. Penelitian untuk mengetahui peranan ekstrak buah mangrove Sonneratia caseolaris L , untuk pencegahan dan pengobatan terhadap infeksi bakteri Vibrio harveyi pada udang windu Panaeus monodon Fab. Dosis yang digunakan pada percobaan ini adalah ppm untuk pencegahan dan ppm untuk pengobatan, Indikator efektivitas metode ini dilihat dari perubahan persentasi hemosit yang dibedakan menjadi dua, yaitu granulosit hemosit yang memiliki granula dan hialosit hemosit yang tidak bergranula.

Hasil perbandingan persentase sel granular hemosit udang windu pada perlakuan pencegahan dapat dilihat pada gambar 1. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan persentase granulosit pada hari ke-1 sampai hari ke pada perlakuan dengan pemberian ekstrak buah mangrove, dan berbeda halnya dengan control tanpa pemberian ekstrak mangrove , pada hari ke-1 sampai hari ke-6 persentase granulosit mengalami penurunan, dan mulai pada hari ke-8 sampai hari ke semua udang control telah mengalami kematian sehingga perhitungan persentase sel granular tidak dapat dilakukan.

Hasil perbandingan persentase sel hialosit hemosit udang windu pada perlakuan pencegahan dapat dilihat pada gambar 2. Bila dibandingkan dengan control tanpa ekstrak mangrove , persentase hialin meningkat pada hari ke-1 sampai hari ke-6, dan mulai mengalami kematian sehingga perhitungan persentase sel hialin hemosit tidak dapat dilakukan. Gambar 4. Persentase sel granular hemosit udang windu panaeus monodon pada percobaan pencegahan. Gambar 5. Persentase sel hialosit hemosit udang windu panaeus monodon pada percobaan pencegahan 4.

Tetapi indikator yang digunakan untuk mengetahui efektifitas ekstrak buah mangrove untuk pengobatan penyakit vibriosis sama halnya dengan indikator yang digunakan pada percobaan pencegahan, yaitu perubahan persentase granulosit dan persentase hialosit dibandingkan dengan kontrolnya. Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan persentase hialin pada hari ke-1 sampai hari ke pada perlakuan dengan pemberian ekstrak buah mangrove.

Dan bila dibanndingkan dengan control tanpa pemberian ekstrak mangrove , persentase hialin meningkat pada hari ke-1 sampai hari ke-6, dan mulai pada hari ke-8 sampai hari ke semua udang control telah mengalami.

Seperti halnya pada percobaan pencegahan, dengan buah mangrove, pada pengobatan menggunakan ekstrak buah mangrove, pada hari ke-1 sampai pada hari ke terjadi kenaikan perentase granulosit, dan berbeda halnya dengan control tanpa pemberian ekstrak mangrove , pada hari ke-2 sampai hari ke-6 persentase granulosit mengalami penurunan, dan mulai pada hari ke-8 sampai hari ke semua udang Kontrol telah mengalami kematian sehingga penghitungan persentase sel granular hemosit tidak dapat dilakukan.

Gambar 6. Persentase sel granular hemosit udang windu Panaeus monodon pada percobaan pengobatan. Gambar 7. Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa percobaan pencegahan dan pengobatan dengan ekstrak buah mangrove S.

Persentase granulosit yang lebih besar dibanding hialosit yang diperoleh pada penelitian ini disebabkan karena granulosit merupakan sistem pertahanan seluler melawan infeksi, sel ini akan bermigrasi ke daerah-daerah yang mengalami infeksi. Granulosit mengandung granula di dalam sitoplasmanya dan memberikan warna biru dengan pewarnaan giemsa Supamattaya et al, Granulosit akan menghancurkan patogen dengan cara menelan petogen. Kelangsungan hidup udang windu P. Gambar 8. Jumlah udang windu Panaeus monodon yang hidup pada percobaan pencegahan Tingkat kematian udang mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-4 pada perlakuan pencegahan buah mangrove, sedanakan kematian semua udang control mulai terjadi pada hari ke-8, selanjutnya keadaan udang windu yang dipelihara sampai hari ke pada perlakuan pencegahan dengan buah mangrove berada dalam keadaan normal.

Udang makan mulai dari hari ke Pada perlakuan pengobatan dengan pemberian ekstrak buah mangrove, kelangsungan hidup udang windu P. Tingkat kematian udang mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-6 pada perlakuan pengobatan dengan buah mangrove, kematian udang mulai terjadi pada hari ke-1 sampai hari ke-4, sedangkan kematian semua terjadi pada hari ke Pada gambar 8 dan 9 menunjukkan bahwa ekstrak buah mangrove S. Peningkatan nilai kelangsungan hidup udang uji tersebut kemungkinan karena mangrove mempunyai bahan aktif yang berfungsi sebagai bahan antimikroba yang mampu menghambat dan mematikan bakteri.

Pengamatan populasi bakteri dalam air dilakukan setiap 24 jam, sedangkan pengamatan larva udang yang mati dilakukan setelah 96 jam hari ke Kondisi populasi bakteri Vibrio harveyi dalam airpemeliharaan udang selama penelitian disajikan dalam Gambar 10 dari gambar tersebut terlihat bahwa populasi bakteri V. Gambar Jumlah larva yang mati pada setiap perlakuan disajikan pada Gambar Dari gambar tersebut terlihat bahwa secara deskriptif mortalitas larva udang tertinggi terjadi pada perlakuan monokultur V.

Analisis Perbandingan Keunggulan Komparatif Efektivitas dari Beberapa Bahan Alam dalam Mengatasi Serangan Penyakit Vibriosis pada Udang Windu Analisis perbandingan keunggulan komparatif terhadap beberapa bahan alam ini dilakukan untuk mengetahui bahan alam mana yang paling efektif dalam dalam mengatasi serangan penyakit Vibriosis pada udang windu dilihat dari aspek teknis pemaparan dan juga ekonomisnya.

Data perbandingan utama ketiga bahan alam disajikan pada Tabel 2 berikut : Tabel 2. Ekstrak daun sirih dipaparkan melalui formulasi pakan, ekstrak buah mangrove dipaparkan dalam cara perendaman, dan isolat bakteri BL dipaparkan dalam cara perendaman. Tingkat kelangsungan hidup Survival Rate merupakan salah satu parameter untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari ketiga bahan alam tersebut dalam mereduksi keberadaan bakteri patogen Vibrio harveyi yang merupakan penyebab penyakit vibriosis pada udang windu.

Namun demikian ada beberapa parameter lain yang dapat dijadikan sebagai dasar penentuan keunggulan komparatif dari ketiga bahan alam tersebut sebagai bagian dari penentuan efektivitas dalam praktis penerapannya. Nilai skoring keunggulan komparatif dari ketiga bahan alam tersebut disajikan pada Tabel berikut:. Tabel 3. Penggunaan bahan alam terbukti mampu mengatasi serangan penyakit Vibriosis yang menyerang udang windu. Berdasarkan analisis perbandingan efektivitas dan skoring keunggulan komparatif dari beberapa bahan alam diketahui bahwa Ekstrak Daun Sirih Piper betle Linn memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi dibanding bahan alam yang lain.

Pemanfaatan bahan alam sebagai antibiotik alami dapat membuka peluang ekonomi bagi masyarakat, khususnya masyarakat di daerah pesisir. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai efektifitas dari ekstraksi bahan-bahan alam yang dapat membantu dalam mangatasi serangan vibriosis pada udang windu sehingga budidaya tambak dapat berjalan dengan baik.

Perlu dilakukan kajian dan penelitian lanjutan mengenai efektivitas bahan alam dalam mengatasi serangan vibriosis terutama terkait dengan kemudahan aplikasi teknisnya.

Tidak Dipublikasikan. Budianto, Agus. Mengenal Larva Udang Windu. XV No. Darwis, S. Hasil pengamatan kualitas air yang di ukur tidak begitu memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng yang dipelihara. Karena masih dalam kisaran yang aman. Tabel 5. Berdasarkan analisa dan pembahasan data penelitian pengaruh padat tebar yang berbeda terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada polikultur udang windu penaeus monodon fab dan ikan bandeng chanos chanos pada hapa di tambak.

Perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelangsungan hidup udang windu dan tidak berpengaruh terhadap kelangsungan hidup ikan bandeng dan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan udang windu dan ikan bandeng.

Pedoman Teknis Pembenihan Ikan Bandeng. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Windu. Aquatik Consultans dan Konsorsium. Badare, A. Mangampa, M. Busran dan Suswoyo, H. Ninef, M. UHT: Surabaya.

Prijosepoetro, S. Bahan Kuliah Metode Ilmiah. Fakultas Perikanan. UHT: Suarabaya. Syahid, M. Subhan, A. Budidaya Udang Organik Secara polikultur. Penebar swadaya: Jakarta.

Tjoronge, M. Polikultur Rumput Laut Gracillaria sp. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. Departemen Kelautan dan Perikanan. Wiyanto, H. Pembenihan dan Pembesaran Lobster Air Tawar. Open navigation menu. Close suggestions Search Search. User Settings. Skip carousel. Carousel Previous. Kaki jalan pereiopoda, 5 pasang ; 9. Kaki renang pleopoda , 5 pasang ; Ekor kipas uropoda ; Ujung ekor telson.

Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala karapas yang ujungnya meruncing disebut rostrum.

Kerangka tersebut mengeras, kecuali pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini memudahkan mereka untuk bergerak Suyanto dan Mujiman, Di bagian kepala-dada terdapat anggota-anggota tubuh lainnya yang berpasang-pasangan.

Berturut-turut dari muka ke belakang adalah sungut kecil antennula , sirip kepala scophocerit , sungut besar antenna , rahang mandibula , alat-alat pembantu rahang maxilla , dan kaki jalan pereiopoda.

Di bagian perut terdapat lima pasang kaki renang pleopoda. Ujung ruas ke-6 arah belakang membentuk ujung ekor telson. Di bawah pangkal ujung ekor terdapat lubang dubur Suyanto dan Mudjiman, Pada umumnya induk udang betina lebih besar dari induk jantan. Perbedaan alat kelamin induk jantan dan induk betina dapat dilihat dari sisi bawah ventral udang tersebut. Alat kelamin betina bernama thelicum dan terletak di antara dasar sepasang kaki jalan atau periopoda yang berfungsi untuk menyimpan sperma.

Alat kelamin jantan bernama petasma dan terletak pada pangkal kaki renang ke-1 satu yang berfungsi untuk mentransfer sperma Anonymous, Udang windu bersifat omnivor, pemakan detritus dan sisa-sisa organik baik hewani maupun nabati. Udang ini mempunyai sifat dapat menyesuaikan diri dengan makanan yang tersedia di lingkunagnnya, tidak besifat terlalu memilih- milih.

Sedang pada tingkat mysis, makanannya berupa campuran diatome, zooplankton seperti balanus, veligere, copepod dan trehophora Vilalez , Udang windu merupakan organisme yang aktif mencari makan pada malam hari nocturnal. Jenis makanannya sangat bervariasi tergantung pada tingkatan umur. Pada stadia benih, makanan utamanya adalah plankton fitoplankton dan zooplankton.

Udang windu dewasa menyukai daging binatang lunak atau moluska kerang, tiram, siput , cacing, annelid yaitu cacing Polychaeta, dan crustacea.

Dalam usaha budidaya, udang windu mendapatkan makanan alami yang tumbuh di tambak, yaitu klekap, lumut, plankton, dan benthos. Udang windu akan bersifat kanibal bila kekurangan makanan Soetomo, Sifat lain yang juga menguntungkan adalah ketahanannya terhadap perubahan suhu yang dikenal sebagai eurythemal Suyanto dan Mujiman Sutaman mengemukakan bahwa perkembangan dan pertumbuhan larva udang windu mengalami beberapa perubahan bentuk dan ganti kulit.

Secara bergantian larva dimulai dari menetas menjadi post larva. Menurut Amri bahwa ada 4 tahap moulting yakni tahap pertama proedysis, tahap kedua edysis, tahap ketiga metecdysis dan tahap keempat intermoult.

Secara alami daur hidup udang panaeoid meliputi dua tahap, yaitu tahap ditengah laut dan diperairan muara sungai estuaria. Udang windu tumbuh menjadi dewasa dan memijah ditengah laut. Pertumbuhan udang merupakan keluaran bersih dari suatu proses tingkah laku dan proses fisiologi yang dimulai dari konsumsi makanan pemenuhan tingkah laku nafsu makan dan diakhiri dengan deposisi substansi hewan. Sedangkan Efendi , mengatakan pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu.

Soetomo, mengungkapkan bahwa makanan mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan individu. Kecepatan pertumbuhan udang windu sangat tergantung kepada makanan yang diberikan, kedalaman, kecerahan, salinitas, dan kualitas air Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah faktor yang berasal dari individu udang itu sendiri, seperti ; keturunan, sex, umur dan ukuran. Sedangkan faktor luar yaitu faktor yang berasal dari lingkungan sekitarnya, misalnya ; makanan, kecerahan, suhu perairan, salinitas dan bahan- bahan beracun.

Bila telur tersebut telah matang dan siap untuk dibuahi maka dikeluarkan melalui saluran telur oviduct yang terdapat pada bagian pangkal dari pasangan kaki jalan ke tiga. Pada saat telur dikeluarkan, secara bersamaan spermatofor dipecahkan oleh induk betina, sehingga terjadilah pembuahan. Telur yang yang telah dibuahi akan menetas dalam waktu 12 sampai 15 jam dan berkembang menjadi larva Martosudarmo dan Ranoemihardjo Tahap larva Terdiri dari stadia nauplius, zoea, mysis dan post larva.

Akhir dari tahap ini ditandai oleh ruas abdomen ke enam yang lebih panjang dari panjang cangkang dan warna tubuh yang transparan yang ditutupi oleh pita berwarna coklat gelap memanjang dari pangkal antenna hingga telson. Tahap ini ditandai dengan fluktuasi perbandingan, ukuran tubuh mulai stabil, yang berarti telah menginjak tahap udang muda. Pada udang jantan mempunyai spermatozoa pada pasangan ampula terminalis dan pada udang betina mempunyai ovoctus yang telah berkembang di dalam ovariumnya.

Daur hidup udang Penaeus menurut Wyban dan Sweeney adalah udang betina bertelur — telur — naupli — protozoea — mysis — poslarva — juvenil — udang dewasa Gambar 2. Larva masih memiliki cadangan makanan dalam tubuh berupa kuning telur. Stadia zoea terdiri dari 3 substadia yang berlangsung selama 6 hari dan mengalami alih bentuk 3 kali. Stadia mysis dicirikan oleh bentuk larva yang mulai menyerupai udang dewasa.

Pleopod dan telson mulai berkembang dan larva bergerak mundur. Selanjutnya stadia mysis mengalami alih bentuk menjadi postlarva. Selama 5 hari pertama stadia postlarva, udang masih bersifat planktonis, dan pada stadia postlarva-6 udang mulai merayap di dasar Toro dan Soegiarto, Seekor udang betina mampu menghasilkan setengah sampai satu juta telur setiap bertelur.

Dalam waktu jam, telur kecil tersebut berkembang menjadi larva berukuran mikroskopik yang disebut nauplius. Tahap nauplius tersebut memakankuning telur yang tersimpan dalam tubuhnya lalu mengalami metamorfosis menjadizoea. Tahap kedua ini memakan alga dan setelah beberapa hari bermetamorfosislagi menjadi mysis.

Mysis mulai terlihat seperti udang kecil dan memakan alga dan zooplankton. Setelah 3 sampai 4 hari, mysis mengalamimetamorfosis menjadi post larva. Tahap post larva adalah tahap saat udang sudahmulai memiliki karakteristik udang dewasa. Keseluruhan proses dari tahap naupliussampai post larva membutuhkan waktu sekitar 12 hari Perry, Oogonia diproduksi secara mitosis dari epithelium germinal selama kehidupan reproduktif dari udang betina.

Oogonia mengalami meiosis, berdiferensiasi menjadi oosit, dan dikelilingi sel-sel folikel. Oosit yang dihasilkan akan menyerap material kuning telur dari darah induk melalui sel-sel folikel Wyban et al. Organ reproduksi utama dari udang jantan adalah testes, vasa derefensia,petasma, dan apendiks maskulina. Sperma udang memiliki nukleus yang tidak terkondensasi dan bersifat nonmotil karena tidak memiliki flagela.

Selamaperjalanan melalui vas deferens, sperma yang berdiferensiasi dikumpulkan dalamcairan fluid dan melingkupinya dalam sebuahchitinous spermatophore Wybanetal. Udang jantan hanya akan kawin dengan udang betina yang memilikiovarium yang sudah matang. Kontak antena yang dilakukan oleh udang jantan padaudang betina dimaksudkan untuk pengenalan reseptor seksual pada udang.

Proseskawin alami pada kebanyakan udang biasanya terjadi pada waktu malam hari. Tetapi, udang windu paling aktif kawin pada saat matahari tenggelam Yano, et al. Spesies udang windu memiliki tipe Thelycum tertutup sehingga udang tersebutkawin saat udang betina pada tahap intermolt atau setelah maturasi ovarium selesai,dan udang akan bertelur dalam satu atau dua jam setelah kawin.

Peneluran terjadi saat udang betina mengeluarkan telurnya yang sudah matang. Proses tersebut berlangsung kurang lebih selama dua menit Dahuri, R. Gambar 6. Perkembangan larva stadium Mysis Murtidjo, 4. Stadia Post larva Setelah melewati stadium nauplius, zoea dan mysis pada hari ketujuh larva udang windu P. Stadium ini mudah diketahui dan dibedakan dengan stadium mysis ketiga M3 karena bentuk tubuh yang lebih lurus dan cara berenang yang sudah menelungkup atau tidak berenang dengan kaki terbalik.

Stadia post larva dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Post larva Murtidjo, 2. Jika diperhitungkan, rata-rata untuk memproduksi udang konsumsi dengan banyak 1 ton di tambak memerlukan benur sebanyak lebih dari Artinya diperlukan benur sebanyak lebih dari Potensi benur alam di seluruh Indonesia diperhitungkan hanya mencapai 0,8 milyar per tahun.

Untuk memenuhi kebutuhan, kekurangan benur harus dapat diproduksi dari panti-panti pembenihan hatchery yang ada sekarang Suyanto dan Takarina, Jumlah benur yang dibutuhkan sebanyak Kebutuhan benur tersebut tidak mungkin dapat dipenuhi dengan jalan pengambilan benur secara alami dari laut. Benur windu P. Benur yang tertangkap biasanya bercampur dengan benih jenis udang putih, windu dan kerosok. Sistem Pernafasan Pada umumnya Udang bernafas dengan insang. Kecuali Udang yang bertubuh sangat kecil bernafas dengan seluruh permukaan tubuhnya.

Sebuah angka yang menunjukkan bahwa permintaan masyarakat akan tiger shrimp ini sangat tinggi. Masyarakat di seluruh dunia memanfaatkan udang windu sebagai sumber makanan. Udang windu sangat digemari karena beberapa hal. Diantaranya adalah kandungan gizinya yang tinggi, kadar lemaknya yang rendah, dan yang pasti rasanya lebih gurih dan enak..

Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka. Siklus Hidup Penaeid. Tanggal 10 Januari Martosudarmo, B. Pedoman Pembenihan Udang Penaeid.

Direktorat Jendral Perikanan Departemen Pertanian. Teknik Budidaya udang windu. Tanggal 10 Januari Mutidjo, B. Benih Udang Windu Skala Kecil. Teknik Budidaya Udang Windu Penaeus monodon. Suyanto, S. R dan A.



0コメント

  • 1000 / 1000